Selasa, 19 Maret 2013

CAMELS VS RBBR


Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011menyatakan bahwa sistem penilaian analisis kesehatan bank  diubah dari CAMELS menjadi RGEC (Risk profile, Good corporate governance, Earnings, & Capital), sekaligus menggantikan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011.
Tingkat kesehatan bank berdasarkan CAMELS, selama ini telah efektif dalam memberikan gambaran kesehatan bank namun perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan kompleksitas bisnis bank dan memenuhi ekspektasi stakeholders yang semakin tinggi. Untuk lebih memahami apa fokus penyempurnaan CAMELS, berikut disajikan diagram Penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan metode CAMELS, sebagai berikut  :

Dari diagram tersebut terlihat, bahwa keterkaitan antara faktor-faktor dalam CAMELS belum terhubung sehingga belum memberikan gambaran yang utuh tentang bagaimana bank dikelola. Masing-masing komponen dan faktor dalam diagram masih dianalisis secara terpisah, dan belum mempehatikan adanya keterkaitan antara satu parameter dengan parameter lainnya. Berikut uraian tentang hal dimaksud :
  • Faktor Manajemen tentunya sangat terkait dengan faktor lainnya, karena faktor-faktor lain merupakan hasil (resultan) dari apa yang dilakukan manajemen. Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erat antara penilaian penilaian faktor Manajemen dengan faktor lainnya.
  • Faktor Capital dan Earnings sangat dipengaruhi oleh faktor Asset Quality, karena Asset Quality yang buruk akan menyebabkan kecukupan permodalan terganggu  untuk mengantisipasi kerugian dimasa depan.
Selain dari belum adanya keterkaitan antara faktor dan komponen, CAMELS juga belum memperhitungkan kinerja masa depan serta perbandingan bank dengan bank sejenis (peer analysis). Misal dalam penilaian faktor Asset Quality, CAMELS belum memperhitungkan potensi penurunan kualitas kredit / potensi peningkatan NPL. Hal-hal tersebut, menjadi alasan mengapa perlu penyesuaian metode Penilaian Tingkat Kesehatan dari CAMELS ke RBBR.
Konsep Risk Based Bank Rating (RBBR)

Diuraikan pada bagian sebelumnya, evaluasi kinerja yang dilakukan bank selama ini lebih banyak terfokus sisi upside bisnis (pencapaian laba dan pertumbuhan), tetapi hanya sedikit membahas sisi downside (risiko). Evaluasi yang hanya fokus pada sisi upside cenderung bias dan tidak berorientasi pencapaian jangka panjang sehingga penilaian tingkat kesehatan bank (mencakup sisi upside dan downside) menjadi solusi penilaian kinerja yang lebih komprehensif.
Penilaian RBBR mencakup empat faktor yaitu : i). Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG), ii). Profil Risiko, iii). Earning (pendapatan) & iv). Capital (permodalan). Diagram berikut mengilustrasikan hubungan antara masing-masing faktor dalam RBBR, yaitu :

Dari diagram di atas, terlihat bahwa Peringkat Komposit TKB berdasarkan RBBR adalah dilakukan berdasarkan penilaian kualitas manajemen bank yang diukur dari penerapan GCG dan manajemen risiko. Dengan kata lain, penilaian faktor Pendapatan dan faktor Permodalan hanya merupakan dampak (impact) dari strategi yang telah dilakukan manajemen.
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan Bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Profil Risiko adalah proses penilaian keseluruhan proses dari identifikasi risiko, analisa risiko dan evaluasi risiko yang dihadapi bank, yang diilustrasikan sebagai berikut :

Profil Risiko mencakup penilaian atas risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko pada 8 jenis risiko sebagai berikut :
  • Inherent Risk - Risiko Inheren adalah risiko yang melekat pada kegiatan bisnis bank, baik yang dapat dikuantifikasikan maupun tidak dapat dikuantifikasikan, yang berpotensi mempengaruhi posisi keuangan bank. Inherent Risk dapat berupa parameter yang bersifat ex-post (telah terjadi) maupun parameter yang bersifat ex-ante (belum terjadi).
  • Risk Control System  (RCS) - Kualitas Penerapan Manajemen Risiko merupakan penjabaran dari penerapan Basel II Pilar 2 – Supervisory review yang telah dijabarkan di perbankan Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Tentang Penerapan Manajemen Risiko.
Penilaian Inherent Risk dan RCS selanjutnya menghasilkan net risk per jenis risiko dan kesimpulan risiko komposit bank secara keseluruhan.
Bisnis bank adalah bisnis risiko, sama dengan bisnis lainnya. Namun karena bank menggunakan dana masyarakat, standar pengelolaan risiko harus lebih tinggi dari bisnis lainnya. Sama dengan konsep manajemen risiko,  risiko bukanlah hal yang harus dihindari tapi dikelola untuk mendapatkan keuntungan sehingga manajemen risiko bukanlah hal yang membatasi bisnis namun mendukung bisnis.
Sesuai Pilar II Basel 2, permodalan bank harus mampu menyerap semua risiko yang ada dibank. Penilaian permodalan ini mencakup :
  • Kecukupan permodalan : i).modal dapat menyerap risiko, ii). mendukung rencana bisnis dan iii). Kualitas modal (komposisi tier 1)
  • Pengelolaan Permodalan : i). Efektifitas perencanaan dan penggunaan modal  untuk menghasilkan pendapatan, ii). Pemupukan modal organik, iii). Kemampuan akses bank kepada sumber permodalan.
Penilaian terhadap faktor pendapatan (earning) dilakukan berdasarkan aspek Kinerja Earnings, sumber-sumber earning, diversifikasi pendapatan, earning sustainibility.

Sebenarnya sistem penilaian kesehatan bank antara CAMELS tidak berbeda jauh dengan RGEC.
Berikut ini merupakan perbedaan CAMELS dengan RGEC:

1.       Capital CAMELS vs Capital RGEC
Untuk perhitungan CAR baik untuk CAMELS maupun RGEC menggunakan rumus yang sama. Tetapi yang membedakan adalah terletak pada perhitungan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko. Pada CAMELS, yang masih menggunakan regulasi Basel I, hanya memperhitungkan ATMR dengan menggunakan risiko kredit dan risiko pasar saja. Sedangkan untuk perhitungan ATMR pada RGEC, dimana regulasi Basel II sudah digunakan, selain menggunakan risiko kredit dan risiko pasar, maka ditambah dengan menggunakan risiko operasional.
2. Asset Quality + Liquidity + Sensitifity to Market Risk = Risk Profile
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, Risk Profile yang wajib dinilai terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi.
Dalam penilaian CAMELS, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada Asset Quality, Liquidity, & Sensitifity to Market Risk buruk, maka dapat diprediksi bahwa bank tersebut akan mengalami kebangkrutan. Tetapi dalam penilaian RGEC, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada Risk Profile buruk, maka bank tersebut belum dapat diprediksi akan mengalami kebangkrutan selama parameter penanganan risiko bank itu sangat baik sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi akan terjadinya kebangkrutan.
a. Kredit Asset Quality vs Kredit Risk Profile
Seperti halnya perbedaan Capital seperti penjelasan diatas, maka penilaian kredit pada Asset Quality dan Risk Profile pun mengalami perbedaan yang terkait dengan adanya perubahan regulasi juga yaitu adanya revisi PSAK No. 50 dan No. 55 pada tahun 2006 tentang Instrumen Keuangan. Adanya revisi tersebut mengakibatkan adanya perubahan padanan PPAP menjadi CKPN. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya PPAP sejenis dengan CKPN karena sama-sama merupakan pencadangan pada kredit. Yang membedakan adalah perlakuannya, dimana pencadangan kredit pada PPAP didasarkan pada ketentuan kolektibilitasnya sedangkan untuk pecadangan kredit pada CKPN didasarkan pada data kerugian kredit yang telah terjadi.
b. Liquidity CAMELS vs Liquidity Risk Profile
Parameter atau indikator yang digunakan untuk memperhitungkan antara Liquidity CAMELS dengan Liquidity Risk Profile sebagian besar memiliki persamaan. Yang membedakan adalah bahwa pada parameter Liquidity CAMELS terdapat perhitungan rasio LDR (Loan Deposits Ratio) sedangkan pada parameter Liquidity Risk Profile tidak terdapat adanya perhitungan rasio tersebut.
c. Market Risk CAMELS vs Market Risk Profile
Perbedaan yang signifikan antara Market Risk CAMELS dengan Market Risk Profile adalah adanya parameter atau indikator strategi dan kebijakan bisnis setiap masing-masing bank pada penilaian pada Market Risk Profile. Sedangkan untuk Market Risk CAMELS lebih terfokus pada penerapan sistem manajemen risiko pasar.
3. Management CAMELS vs Good Corporate Governance RGEC
Pada Management CAMELS, selain menggunakan parameter atau indikator Good Corporate Governance pada manajemen umum, digunakan pula penerapan sistem manajemen risikonya serta kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, dimana pada komponen RGEC, kepatuhan tersebut terdapat dalam penjelasan mengenai Risiko Kepatuhan pada Risk Profile.
4. Earnings CAMELS vs Earnings RGEC
Pada Earnings CAMELS, terdapat parameter atau indikator perhitungan BOPO (Beban Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional), sedangkan Earnings RGEC tidak ada perhitungan BOPO. Sebagai gantinya, pada Earnings RGEC terdapat parameter atau indikator Beban Operasional dibagi dengan Total Aset dan Pendapatan Operasional yang juga dibagi dengan Total Aset.
Refrensi               :

Selasa, 12 Maret 2013

Review Bank Syariah

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvesional.
Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Saat ini banyak orang memperbincangkan tentang perbankan syariah, yang merupakan salah satu perangkat ekonomi syariah. Menurut Undang-undang No.10 tahun 1998 bank syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.. Usaha pembentukan sistem perbankan syariah ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), dimana hal ini tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia perbankan syariah dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia, dan hingga tahun 2007 sudah terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu, Bank Konvensional adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah:
1.        Aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa – menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini, justru menerapkan sistem bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil.
2.       Dari struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris. DPS ini ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya.
3.       Dalam menangani resiko usaha, Bank Syariah menghadapi resiko yang terjadi secara bersama antara bank dan nasabah. Dalam sistem Bank Syariah, tidak mengenal negative spread (selisih negatif). Sedangkan pada Bank Konvensional, resiko yang dialami bank tidak ada kaitannya dengan resiko debitur dan sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan beban bunga dimungkinkan terjadi negative spread (selisih negatif) dalam sistem Bank Konvensional.
4.       Lingkungan kerja Bank Syariah. Nuansa yang diciptakan lebih bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian, beretika dan bertingkah laku dari para karyawannya. Nuansa yang dirasakan memang berbeda, lebih sejuk dan lebih islami.
5.       Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator penabung dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena nasabah telah mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga tabungan dengan bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan dari bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak ikut merasakan untung rugi usaha tersebut.
Hal yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
Di Bank Syariah nasabah mendapatkan keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank. Jika pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan keuntungan sedikit.
Pengetahuan dan Minat Masyarakat tentang Bank Syariah di Indonesia masih minim.
Kekuatan perbankan syariah dalam menahan dampak krisis ekonomi global di Indonesia telah terbukti pada 1998. Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Muhammad Syakir Sula mengungkapkan krisis ekonomi global kala itu telah menyebabkan hampir semua bank konvensional bangkrut. “Hanya Bank Muamalat sebagai satu-satunya bank syariah relatif kuat menahan krisis. Meski hanya jalan di tempat, setidaknya bank itu tidak bangkrut,” kata Syakir.. Tetapi Asosiasi Bank-Bank Syariah Nasional (Asbisindo) berpendapat ketertarikan masyarakat terhadap bank-bank syariah masih minim. Ini diakibatkan oleh sumber daya manusia di industri perbankan syariah yang belum mumpuni serta ketidakseriusan Bank Indonesia (BI) mengembangkan industri syariah di Indonesia. Demikian diungkapkan oleh Ketua Asbisindo A. Riawan Amin dalam sebuah diskusi tentang perbankan syariah di FX Plaza, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (27/04/2010).
Masyarakat cenderung masih belum percaya terhadap bank syariah di Indonesia. Apakah memang menggunakan prinsip syariah atau tidak, karena jika dilihat sumber daya manusianya di level pimpinan masih banyak masalah,regulator-pun turut mensuburkan gaya konvensional tersebut. Dikatakan Riawan, minimal bank syariah seharusnya diurusi oleh Deputi Gubernur Senior. Seharusnya Ekonomi Indonesia khususnya perbankan , dinilai akan lebih kuat menahan dampak krisis ekonomi global tersebut jika mau mengkonversi ke konsep syariah. Namun sangat disayangkan pengetahuan akan Bank Syariah sangat minim sehingga perkembangan bank Syariah belum sepesat Bank Konvensional.




Review 3 : Transaksi RTGS turun drastis akibat Banjir di berbagai daerah.


Selama beberapa tahun belakangan ini hampir semua negara-negara maju yang tergabung dalam G -10 countries telah menerapkan sistem Real-Time Gross Settlement (RTGS) untuk transaksi transfer antar bank. Menurut laporan BIS sampai saat ini sekurang-kurangnya 30 negara telah menggunakan sistem RTGS.
BI-RTGS adalah sistem transfer dana elektronik yang penyelesaian setiap transaksinya dilakukan dalam waktu seketika. Sejak dioperasikan oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 November 2000, BI-RTGS berperan penting dalam pemrosesan aktivitas transaksi pembayaran, khususnya untuk memproses transaksi pembayaran yang termasuk High Value Payment System (HVPS) atau transaksi bernilai besar yaitu transaksi Rp.100 juta keatas dan bersifat segera (urgent). Transaksi HPVS saat ini mencapai 90% dari seluruh transaksi pembayaran di Indonesia sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem pembayaran nasional yang memiliki peranan signifikan (Systemically Important Payment System).
Sistem BI-RTGS memberikan banyak manfaat, selain berfungsi meningkatkan kepastian penyelesaian akhir (settlement finality) setiap transaksi pembayaran, yang berarti mengurangi risiko penyelesaian akhir (minimizing settlement risk) , BI RTGS juga menjadi sarana transfer dana antar-bank yang praktis, cepat, efisien, aman dan handal.
BI-RTGS didisain untuk memastikan penyelesaian akhir dapat dilakukan secara gross settlement, real time, final dan irrevocable. Penyelesaian transaksi BI RTGS dilakukan per transaksi secara seketika dan tidak dapat dibatalkan.
BI-RTGS juga merupakan Settlement Processor. Sebagai settlement processor, BI-RTGS menjadi sarana penyelesaian akhir bagi transaksi pembayaran ritel, meliputi pembukuan hasil kliring yang diselenggarakan oleh BI (SKNBI) dan hasil kliring ATM/kartu debit/kartu kredit.
Berikut ini adalah data Tabel Transaksi RTGS Agregat periode Januari  2012-Februari 2013.
Tabel Transaksi RTGS Agregat
Periode
Nilai
(Miliar Rp)
Volume
(Satuan)
Februari 2013
5,969,171.38
1,372,615
Januari 2013
6,983,393.12
1,485,318
Desember 2012
7,316,091.94
1,559,903
November 2012
6,291,283.45
1,548,902
Oktober 2012
6,365,437.60
1,610,298
September 2012
6,672,392.19
1,387,092
Agustus 2012
6,414,790.39
1,392,014
Juli 2012
7,393,446.72
1,536,598
Juni 2012
7,688,022.49
1,461,735
Mei 2012
9,648,360.96
1,477,506
April 2012
10,200,543.64
1,361,976
Maret 2012
10,336,170.39
1,402,863
Februari 2012
10,391,327.73
1,375,369
Januari 2012
10,679,242.84
1,384,169

 Dari data diatas menunjukkan transaksi rtgs yang mengalami fluktuasi. Dari beberapa periode, pada bulan Februari Nilai transaksi RTGS yang paling kecil. Hal ini terjadi karena bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya pada 16-18 Januari lalu. Seperti yang kita ketahui Jakarta adalah Kota dengan transaksi RTGS terbesar.
Direktur Grup Hubungan Masyarakat BI Difi. A. Johansyah. Pada 16-18 Januari, penyelenggaraan sistem pembayaran berjalan denterjadi penurunan transaksi yang signifikan, untuk RTGS dan SKNBI, karena aktivitas pebisnis terhambat, jadi tidak bisa ke bank.

Review 2 : Bank Perkreditan Rakyat, Lintah Darat yang dilegalkan ?



Bank perkreditan rakyat adalah bank penunjang yang memiliki keterbatasan wilayah operasional dan dana yang dimiliki dengan layanan yang terbatas pula seperti memberikan kredit pinjaman dengan jumlah yang terbatas, menerima simpanan masyarakat umum, menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, penempatan dana dalam sbi / sertifikat bank indonesia, deposito berjangka, sertifikat / surat berharga, tabungan, dan lain sebagainya. Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) merupakan salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah.
Terbesit sebuah pertanyaan akan suku bunga pinjaman BPR yang sangat tinggi melebihi bank umum konvensional. Tingkat bunga kredit yang ditawarkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sejauh ini dinilai masih mencekik debitur perbankan. Rata-rata BPR membanderol bunga kredit UMKM di kisaran 30% ke atas. Masih tingginya biaya operasional alias overhead cost BPR menjadi penyebab utama mengapa bunga kredit bank kelas teri ini masih begitu tinggi. BPR seharusnya mampu memberikan bunga kredit di kisaran 22%-26% karena inilah suku bunga yang layak dan sudah teruji.
Ketua Perbarindo Joko Suyanto menjelaskan, untuk deposito BPR menetapkan bunga 10,25%, tabungan 6%, sedangkan linkage sebesar 12%. Selain itu, lanjutnya, biaya overhead BPR pun jauh lebih besar dibanding bank-bank umum karena menerapkan model jemput bola, sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak untuk pendekatan pelayanan secara personal. Jelas dari segi bunga tangan kanan pada Bank BPR lebih besar dibandingkan bank konvesional, sehingga dapat dipastikan untuk mendapatkan keuntungan BPR mematok suku bunga pinjaman lebih besar. BPR ternyata lebih mengedepankan keuntungan, dibandingkan dengan fungsi utamanya yaitu melayani golongan pengusaha mikro , kecil dan menengah. Masih pantaskah Bank Perkreditan Rakyat disebut Bank Rakyat ?